BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu system, yakni
suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang
relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari
perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan
pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara
berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara
berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu
aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan
bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem
politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan
masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses
politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya
dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik
lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintahan
untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka
efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan
bagi rakyat.
Sistem politik pada suatu negara terkadang bersifat relatif, hal
ini dipengaruhi oleh elemen-elemen yang membentuk sistem tersebut. Juga faktor sejarah dalam perpolitikan di suatu negara. Pengaruh sistem
politik negara lain juga turut memberi kontribusi pada pembentukan sistem
politik disuatu negara. Seperti halnya sistem politik di Indonesia, seiring
dengan waktu, sistem politik di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Indonesia merupakan bagian dari sistem politik dunia, dimana
sistem politik Indonesia akan berpengaruh pada sistem politik negara tetangga
maupun dalam cakupan lebih luas. Struktur kelembagaan atau institusi khas
Indonesia akan terus berinteraksi secara dinamis, saling mempengaruhi, sehingga
melahirkan sistem politik hanya dimiliki oleh Indonesia. Namun
demikian, kekhasan sistem politik Indonesia belum dapat dikatakan unggul bila
kemampuan positif struktur dan fungsinya belum diperhitungkan sistem politik
negara lain.
Salah satu syarat penting dalam memahami bagaimana sistem politik
Indonesia adalah melalui pengembangan wawasan dengan melibatkan
institusi-institusi nasional dan internasional. Artinya lingkungan
internal dan eksternal sebagai batasan dari suatu sistem politik
Indonesia harus dipahami terlebih dahulu.
Lingkungan internal akan sangat dipengaruhi oleh budaya politik
bangsa Indonesia. Sedangkan budaya politik sendiri merupakan wujud
sintesa peristiwa-peristiwa sejarah yang telah mengkristal dalam kehidupan
masyarakat, diwariskan turun temurun berupa tatanan nilai dan norma
perilaku. Sementara itu, lingkungan eksternal sedikit banyak
mempengaruhi lingkungan internal ketika transformasi budaya berlangsung akibat
peristiwa sejarah semisal penjajahan kolonial maupun bentuk “penjajahan” budaya
pop (pop culture) di era globalisasi.
Mempelajari sistem politik suatu negara tidak dapat dan tidak
pernah berdiri sendiri dari sistem politik negara lain, setidaknya itulah
maksud implisit yang diutarakan David Easton melalui pendekatan analisa sistem
terhadap sistem politik. Sampai kemudian, Gabriel Almond meneruskannya ke
dalam turunan teori sistem politik yang lebih konkrit, yaitu menggabungkan
teori sistem ke dalam struktural-fungsional, barulah kita mendapatkan pemahaman
bagaimana sistem politik seperti di Indonesia berinteraksi dengan sistem
politik lainnya.
Akhirnya, mengingat sebegitu luas pembicaraan mengenai sistem
politik, maka layaknya suatu sistem, kami akan ciptakan terlebih dahulu
batasan-batasannya, yaitu mengenalkan kedua pendekatan terhadap sistem politik
baru kemudian menganalisis sistem politik Indonesia. Oleh karena itu terlebih
dahulu kami akan membahas pendekatan sistem politik dari teori
behavioral. kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pendekatan sistem
politik dari sudut teori struktural-fungsional, serta pembahasan pada arti
penting sejarah dalam mempelajari sistem politik Indonesia.
BAB II
PENDEKATAN TEORI SISTEM POLITIK
A. Pendekatan
Teori Behavioral Sistem Politik
Adalah David
Easton (1953), seorang ilmuwan politik dari Harvard University, memperkenalkan
pendekatan analisa sistem sebagai metode terbaik dalam memahami politik. Di
kalangan ilmuwanpolitik yang menganut tradisi pluralis, teori Easton yang
bersifat abstrak berpengaruh sampai akhir tahun 1960-an. Kaum pluralis
mengingkari berbicara dengan konteks spesifik. Sedangkan ilmuwanpolitik
kontemporer berkeinginan untuk menciptakan teori umum dengan melihat masalah
lebih konstekstual.
Sebagai pendukung
setia aliran behavioralisme, Easton berusaha keras mengantarkan politik menjadi
ilmu setara dengan ilmu alam dengan mengembalikannya ke dalam kaidah-kaidah
saintifik seperti generalisasi, abstrak, validitas, dan sebagainya untuk
mengukur tingkah laku politik seseorang. Hasrat kuat untuk memunculkan politik
sebagai ilmu pengetahuan (science) ditempuh dengan cara menciptakan model
abstrak, mempolakan rutinitas dan proses politik secara umum. Model
seperti ini menurut Easton, memiliki tingkat abstraksi saintifik sangat tinggi,
sehingga generalisasi politik sebagai ilmu akan tercapai. Menurut Easton,
politik harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya berdasarkan kumpulan dari
beberapa masalah yang harus dipecahkan.
Easton menganggap
politik sebagai organisme, memperlakukannya sebagai mahluk hidup. Teori Easton
berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan
dan bereproduksi, dan terutama, berubah. Easton menggambarkan politik
dalam keadaan selalu bergejolak, menolak ide “equilibrium,” yang mempengaruhi
teori politik masa kini (lihat teori institusionalisme). Lebih jauh, Easton
menolak ide bahwa politik dapat dipelajari dengan melihat berbagai tingkatan
analisis. Oleh karena itu, abstraksi Easton dapat diterapkan untuk
kelompok apapun pada waktu kapanpun.
Fokus perhatian
Easton bersumber pada pertanyaan mengenai bagaimana mengelola sistem politik
agar tetap utuh dalam situasi dunia yang penuh gejolak dan rentan pada
perubahan. Dalam menjawab pertanyaan ini, Easton meyakini akan pentingnya
melakukan penelitian akan bagaimana sistem politik berinteraksi dengan
lingkungannya, baik di dalam maupun di luar lingkup masyarakat.,
Secara sederhana
Easton mengungkapkan bahwa memahami sistem politik sama seperti halnya memahami
sistem lain seperti ekonomi, yang kesemuanya merupakan subsistem dari sistem
yang lebih besar. Namun demikian, sistem politik menurut pandangan Easton
bersifat khusus, karena memiliki kekuatan membuat keputusan yang mengikat semua
anggota dalam sistem.
Perbedaan satu sistem
politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi:
polity, politik dan policy (kebijakan). Easton berpendapat bahwa definisi
politik dari ketiga dimensi ini terbukti lebih efektif, terutama untuk memahami
realitas politik dalam upaya memberikan pendidikan politik.
Fokus pendekatan
sistem berawal pada adanya tuntutan, harapan, dan dukungan, sebagai prasyarat
sebelum memasuki proses konversi dalam sistem politik. Setelah
melalui proses konversi barulah keluar keputusan mengikat seluruh anggota
masyarakat dalam bentuk hukum ataupun perundangan. Hukum dan perundangan
tersebut, pada gilirannya, akan menciptakan reaksi berupa opini dalam
masyarakat, menghasilkan masukan baru, dan kembali menciptakan tuntutan dan
atau dukungan baru.
Easton memandang
sistem politik sebagai tahapan pembuatan keputusan yang memiliki batasan dan
sangat luwes (berubah sesuai kebutuhan). Model sistem politik terdiri
dari fungsi input, berupa tuntutan dan dukungan; fungsi pengolahan
(conversion); dan fungsi output sebagai hasil dari proses sistem politik, lebih
jelasnya seperti berikut ini:
Tahap 1 :
Di dalam sistem politik akan terdapat “tuntutan” untuk “output” tertentu
(misal: kebijakan), dan adanya orang atau kelompok mendukung tuntutan tersebut.
Tahap 2 : Tuntutan-tuntutan dan kelompok akan berkompetisi
(“diproses dalam sistem”), memberikan jalan untuk pengambilan keputusan itu
sendiri.
Tahap 3 : Setiap keputusan yang dibuat (misal: kebijakan
tertentu), akan berinteraksi dengan lingkungannya.
Tahap 4 : Ketika kebijakan baru berinteraksi dengan
lingkungannya, akan menghasilkan tuntutan baru dan kelompok dalam mendukung
atau menolak kebijakan tersebut (“feedback”).
Tahap 5 : Kembali ke tahap 1.
Apabila sistem berfungsi seperti tahapan yang digambarkan, kita akan
mendapatkan “sistem politik stabil.” Sedangkan apabila sistem tidak
berjalan sesuai tahapan, maka kita akan mendapatkan “sistem politik
disfungsional.” Easton menetapkan batasan lingkungan pada sistem politik dimana
input dan output senantiasa berada dalam keadaan tetap, seperti tergambar dalam
ilustrasi di bawah ini.
Keuntungan metode
ini terdapat pada keistimewaannya menggabungkan berbagai aspek dan elemen
politik ke dalam teori analisa sistem. Proses penggabungan akan membuka
peluang untuk melembagakan aneka realitas politik yang rumit dan kemudian
mensistemasikannya dalam sistem, tanpa melupakan politik yang sifatnya
multidimensi.
Namun demikian,
teori Easton memiliki beberapa kelemahan, antara lain karena:
- Sifatnya yang mutlak;
- Teori menjunjung tinggi kestabilan, kemudian gagal menjelaskan mengapa sistem dapat hancur atau konflik;
- teori menolak setiap kejadian atau masukan dari luar yang akan mendistorsi sistem. Dengan kata lain, pendangan Easton menyarankan bahwa setiap sistem politik dapat diisolasi dari yang lainnya (lihat otonomi, kedaulatan);
- Teori ini mengingkari keberadaan suatu negara;
- Teori bersifat mekanistik, dengan demikian melupakan diferensiasi sistem yang timbul akibat variasi.
B. Pendekatan
Teori Struktural-Fungsional Sistem Politik
Di tahun 1970-an,
ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan
struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative
politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik,
tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi
mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi
tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak
dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan
pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori
negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999)
mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat
digerakan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu.
Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang
berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat
ataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian
dari pembuat kebijakan dalam sistem politik.
Seperti telah
disampaikan sebelumnya, teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton
dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional
merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama
pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang
sama—atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup
terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
Pendekatan
struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk
kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi,
dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di jaman moderen ini
memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan
bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi politik,
rekrutmen, dan komunikasi.
Sosialisasi
politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat mewariskan nilai dan
kepercayaan untuk generasi selanjutnya, biasanya melibatkan keluarga, sekolah,
media, perkumpulan religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun,
menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam masyarakat. Dalam
terminologi politik, sosialisasi politik merupakan proses, dimana masyarakat menanamkan
nilai-nilai kebajikan bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga
negara yang efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik
menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga negara, untuk
memilih atau menunjuk orang untuk melakukan aktifitas politik dan duduk dalam
kantor pemerintahan. Dan komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem
menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur yang menyusun
sistem politik.
Dalam sistem
politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan
mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut,
pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti
parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan
fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan,
melaksanakan, dan menegakan kebijakan.
Pengetahuan
mengenai keenam macam struktur politik tersebut belum dapat menerangkan sistem
politik apapun, selain memperlakukannya sebagai entitas yang berdiri sendiri,
namun belum mencapai tahap interaksi. Untuk itu, lingkungan perlu
tercipta lebih dahulu sebagai konteks memahami keberadaan struktur politik,
misalnya negara Indonesia seperti ilustrasi berikut ini.
Interaksi tiap
bagian dalam struktur akan memunculkan kekhasan corak dan perilaku dalam
menyikapi lingkungannya, yang disebut fungsi. Tidak ada dua negara
identik dalam menjalankan fungsi tiap struktur, seperti halnya Amerika Serikat
dan Cina memiliki parlemen, namun cara kerja parlemen mereka amatlah
berlainan. Agar lebih jelas, interaksi antar berbagai fungsi dalam
struktur kelembagaan di dalam sistem politik Indonesia dengan sistem politik negara
lain.
Struktur harus
dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat memahami bagaimana fungsi
berproses dalam menghasilkan kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri
dari urutan aktifitas yang dibutuhkan dalam merumuskan kebijakan dan
implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi kepentingan,
agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan implementasi dan penegakan
kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari karena mereka memainkan peranan
dalam mengarahkan pembuatan kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan,
beberapa individu ataupun kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus
memutuskan apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik
dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Agar bekerja
efektif, proses harus memadukan tuntutan (agregasi) ke dalam alternatif
pilihan, seperti pajak lebih tinggi atau rendah atau jaminan sosial lebih
tinggi atau kurang, dimana dukungan politik dapat dimobilisasi.
Alternatif pilihan kebijakan kemudian disertakan. Siapapun yang mengawasi
pemerintahan akan mendukung salah satu, baru kemudian pembuatan kebijakan
mendapatkan legitimasi. Kebijakan harus ditegakkan dan diimplementasikan, dan
apabila ada yang mempertanyakan ataupun melanggar harus melalui proses
pengadilan.
Namun demikian,
Almond menyadari bahwa pendekatan struktural-fungsional dalam memahami sistem
masih banyak kekurangan. Almond kemudian mencontohkan hasil penelitian
Theda Scokpol, mengenai studi sistem politik mencari penyebab terjadinya
revolusi dengan mengamati perubahan politik di berbagai negara melalui
perbandingan lembaga-lembaga yang ada pada periode historis ataupun rejim
pemerintahan yang berbeda, sebagai alternatif, disamping pendekatan dynamic
developmental atau pendekatan dinamika pembangunan sebagai pelengkap pendekatan
struktural fungsional dalam memahami sistem politik.
Namun demikian,
pendekatan struktural-fungsional ternyata belum cukup lengkap dalam menjelaskan
fenomena perubahan politik yang ada. Faktor budaya politik (political
culture) sebagai bagian penting dari sistem politik yang sangat berkaitan erat
dengan sejarah perjalanan suatu bangsa. Terpisah dari siapa yang memaknai
dan mendominasi bahasa sejarah, tetap nilai-nilai historis akan berperan
penting sebagai pertanda lahirnya suatu peradaban ataupun budaya masyarakat
tertentu.
Oleh karena itu
penggabungan antara pendekatan analisa sistem, pendekatan struktural-fungsional
dengan sejarah akan melengkapi pemahaman kita akan sistem politik Indonesia
yang sedang dipelajari. Sehingga struktur dan fungsi terkandung dalam
sistem politik sekarang: partai politik; kelompok kepentingan; lembaga
eksekutif, lembaga legislatif; jajaran birokrasi; dan lembaga pengadilan dapat
kita prediksi kecenderungannya di masa mendatang.
C. Peran
Penting Sejarah dalam Sistem Politik Indonesia
Peran penting
sejarah dalam memahami sistem politik sangat berkaitan dengan faktor
lingkungan. Perubahan lingkungan sebagai batas ruang lingkup sistem politik
merupakan hasil bentukan budaya yang terdapat di dalam maupun di luar sistem.
Budaya sendiri
merupakan peristiwa sejarah yang menggambarkan pola perilaku, cita rasa, yang
dirasakan, ditanamkan, diwariskan, dari generasi satu ke generasi
lainnya. Dengan demikian sangatlah naif apabila kita menganalisa sistem
politik sekarang tanpa paham akar sejarahnya. Karena yang akan kita
dapatkan hanyalah analisa sempit yang tidak dapat memberikan sumbangsih bagi
kepentingan perbaikan sistem politik di masa depan.
Pendekatan
historical institutionalism analysis yang dikemukakan oleh Paul Pierson dan
Theda Scockpol (2000), ilmuwan politik dari Harvard University, merupakan
alternatif pendekatan teori politik behavioralisme dan rasionalisme yang sangat
mengutamakan metodologi empirik dalam mengamati perubahan pada pemerintahan,
politik, dan kebijakan publik. Menurut Scockpol, ciri dari pendekatan
historical institutionalisme terletak pada upaya mencari jawaban terhadap
pertanyaan besar dan substantif yang biasanya menjadi perhatian publik maupun
para ilmuwan politik.
Sebagai contoh,
behavioralis terkadang luput mengamati bahwa keseragaman pola tingkah laku
individu dalam berpartisipasi secara sukarela dalam suatu organisasi atau
mencoblos dalam pemilihan umum, dapat berbeda maknanya tergantung dari organisasi
atau institusi apa yang dipilih pada satu negara ataupun periode tertentu.
Berbeda dengan dua
pendekatan sebelumnya, historical institusional memandang penting penting
artinya waktu, mengkhusukan pada alur berpikir dan melacak transformasi
dan proses dari berbagai ukuran dan waktu. Pendekatan ini mengalanisis konteks
dan hipotesis makro tentang perpaduan dampak dari institusi dan proses daripada
hanya mempelajari satu institusi pada satu periode waktu saja dalam rangka
memahami pemerintahan, politik, dan kebijakan publik. Oleh karena itu,
pendekatan historical institusional tidak ragu untuk menggali sejarah sebagai
pelengkap pendekatan yang fokus pada analisis data dalam periode waktu singkat.
Pentingnya sejarah
juga diakui oleh para Indonesianis (ahli Indonesia) seperti Herbert Feith,
dalam mempelajari sistem politik Indonesia. Dalam mengaplikasikan sejarah
dalam sistem politik Indonesia, Feith menggunakan teori sistem
struktural-fungsional dengan empat pendekatan, antara lain:
- Masa sebelum tahun 1950-an, mempelajari Indonesia dari sudut politik dan administrasi kolonial, termasuk organisasi dan perjuangan politik kaum bumiputra,
- Masa pemerintahan Soekarno, tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1960-an, ahli politik Indonesia asal Amerika Serikat, J. Kahin, menawarkan konsep baru dengan berfokur pada tingkah laku politik kaum bumiputera dalam gerakan nasionalisme dan revolusi,
- Masa setelah tahun 1960-an, dengan tokohnya Clifford Geertz, mempelajari sifat-sifat dari tingkah laku politik anggota masyarakat yang lebih luas. Konsep Geertz mengaplikasikan pendekatan sosio-kultural terhadap budaya masyarakat jawa dan kaitannya dengan partai politik, melahirkan konsep “politik aliran,”
- Feith pada akhirnya menggabungkan pendekatan Kahin dengan “mempelajari perkembangan tingkah laku politik elit Indonesia dalam kerangka sejarah, dengan analisa semi-fungsional terhadap pertanyaan pokok, mengapa lembaga-lembaga politik Barat tidak berjalan dengan baik dan akhirnya berantakan.”
Sehingga, dalam
mempelajari sistem politik Indonesia masa sekarang, perlu mengetahui peranan
institusi-institusi dalam masa transisi pemerintahan Indonesia. Kegagalan
sistem dalam pendekatan yang menggabungkan struktural-fungsional dan sejarah,
bukan merupakan tanggung jawab individu sebagai aktor penggerak suatu lembaga,
akan tetapi lebih karena pola yang terus menerus diwariskan atau lebih keras,
diindoktrinasikan, kepada sistem.
Pada akhirnya,
apabila sistem politik harus berubah, institusi-institusi yang ada perlu
dirumuskan kembali tingkat kepentingan dan fungsinya di masa depan dengan
memperhatikan kegagalan-kegagalan mereka di masa lalu sebagai input.
Singkat kata, input berupa desakan, tuntutan, dan dukungan lingkungan nasional
dan internasional, seyogyanya memperhatikan latar belakang sejarah mengapa
input tersebut ada.
BAB III
SISTEM POLITIK INDONESIA
A. Pengertian
sistem Politik
1. Pengertian
Sistem
Sistem adalah
suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.
2. Pengertian
Politik
Politik berasal
dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya
politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan
Negara.
Istilah politik
dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar
pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya
menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya
menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.
Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah
dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang
mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.
3. Pengertian
Sistem Politik
Menurut Drs.
Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk
satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta
melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau
kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan
Negara.[16]
Sistem Politik
menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat
fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan
menunjukkan suatu proses yang langggeng
4. Pengertian Sistem Politik di Indonesia
Sistem politik
Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam
Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi
dan penyusunan skala prioritasnya.
Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam
konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif
). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan
kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya
kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga
memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal
ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara.
Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR,
DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
Badan yang ada
di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok
Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political
Figure), dan pranata politik lainnya adalah
merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat
dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses
pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan
yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.
B. Proses
Politik Di Indonesia
Sejarah Sistem
politik Indonesia dilihat dari proses politiknya bisa dilihat dari masa-masa
berikut ini:
ü Masa prakolonial
ü
Masa kolonial
(penjajahan)
ü
Masa Demokrasi
Liberal
ü
Masa Demokrasi
terpimpin
ü
Masa Demokrasi
Pancasila
ü Masa Reformasi
Masing-masing masa
tersebut kemudian dianalisis secara sistematis dari aspek :
ü Penyaluran tuntutan
ü
Pemeliharaan nilai
ü
Kapabilitas
ü
Integrasi vertikal
ü
Integrasi
horizontal
ü
Gaya politik
ü
Kepemimpinan
ü
Partisipasi massa
ü
Keterlibatan
militer
ü
Aparat negara
ü
Stabilitas
Bila diuraikan
kembali maka diperoleh analisis sebagai berikut :
1. Masa
prakolonial (Kerajaan)
ü Penyaluran tuntutan – rendah dan terpenuhi
ü
Pemeliharaan nilai
– disesuikan dengan penguasa
ü
Kapabilitas – SDA melimpah
ü
Integrasi vertikal
– atas bawah
ü
Integrasi
horizontal – nampak hanya sesama penguasa kerajaan
ü
Gaya politik –
kerajaan
ü
Kepemimpinan –
raja, pangeran dan keluarga kerajaan
ü
Partisipasi massa
– sangat rendah
ü
Keterlibatan
militer – sangat kuat karena berkaitan dengan perang
ü
Aparat negara –
loyal kepada kerajaan dan raja yang memerintah
ü Stabilitas – stabil dimasa aman dan instabil
dimasa perang
2. Masa
kolonial (penjajahan)
ü Penyaluran tuntutan – rendah dan tidak
terpenuhi
ü
Pemeliharaan nilai
– sering terjadi pelanggaran ham
ü
Kapabilitas –
melimpah tapi dikeruk bagi kepentingan penjajah
ü
Integrasi vertikal
– atas bawah tidak harmonis
ü
Integrasi
horizontal – harmonis dengan sesama penjajah atau elit pribumi
ü
Gaya politik –
penjajahan, politik belah bambu (memecah belah)
ü
Kepemimpinan –
dari penjajah dan elit pribumi yang diperalat
ü
Partisipasi massa
– sangat rendah bahkan tidak ada
ü
Keterlibatan
militer – sangat besar
ü
Aparat negara –
loyal kepada penjajah
ü Stabilitas – stabil tapi dalam kondisi mudah
pecah
3. Masa
Demokrasi Liberal
ü Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem
belum memadani
ü
Pemeliharaan nilai
– penghargaan HAM tinggi
ü
Kapabilitas – baru
sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
ü
Integrasi vertikal
– dua arah, atas bawah dan bawah ata
ü
Integrasi
horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
ü
Gaya politik –
ideologis
ü
Kepemimpinan –
angkatan sumpah pemuda tahun 1928
ü
Partisipasi massa
– sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
ü
Keterlibatan
militer – militer dikuasai oleh sipil
ü
Aparat negara –
loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
ü
Stabilitas –
instabilitas
4. Masa
Demokrasi terpimpin
ü Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak
tersalurkan karena adanya Front nas
ü
Pemeliharaan nilai
– Penghormatan HAM rendah
ü
Kapabilitas –
abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
ü
Integrasi vertikal
– atas bawah
ü
Integrasi
horizontal – berperan solidarity makers,
ü
Gaya politik –
ideolog, nasakom
ü
Kepemimpinan –
tokoh kharismatik dan paternalistik
ü
Partisipasi massa
– dibatasi
ü
Keterlibatan
militer – militer masuk ke pemerintahan
ü
Aparat negara –
loyal kepada negara
ü
Stabilitas –
stabil
5. Masa
Demokrasi Pancasila
ü Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang
kemudian tidak terpenuhi karena fusi
ü
Pemeliharaan nilai
– terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
ü
Kapabilitas –
sistem terbuka
ü
Integrasi vertikal
– atas bawah
ü
Integrasi
horizontal – nampak
ü
Gaya politik –
intelek, pragmatik, konsep pembangunan
ü
Kepemimpinan –
teknokrat dan ABRI
ü
Partisipasi massa
– awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
ü
Keterlibatan
militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
ü
Aparat negara –
loyal kepada pemerintah (Golkar)
ü
Stabilitas stabil
6. Masa
Reformasi
ü Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
ü
Pemeliharaan nilai
– Penghormatan HAM tinggi
ü
Kapabilitas
–disesuaikan dengan Otonomi daerah
ü
Integrasi vertikal
– dua arah, atas bawah dan bawah atas
ü
Integrasi
horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
ü
Gaya politik –
pragmatik
ü
Kepemimpinan –
sipil, purnawiranan, politisi
ü
Partisipasi massa
– tinggi
ü
Keterlibatan
militer – dibatasi
ü
Aparat negara –
harus loyal kepada negara bukan pemerintah
ü Stabilitas – instabil
C. Sejarah
Sistem Politik di Indonesia
Sejarah Sistem
Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya.
Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia
tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik
biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang
berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka,
karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki tantangan dan
tekanan.
Dalam melakukan
analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja seperti dari
sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan tradisional
dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan sekilas.
Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu pendekatan
sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses politik
mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem adalah
kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan. Pandangan mengenai
keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para pakar
politik. Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan diikuti
oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik diukur dari
sudut moral. Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari
tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh
lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan
internasional.
Pengaruh ini akan
memunculkan perubahan politik. Adapun pelaku perubahan politik bisa dari elit
politik, atau dari kelompok infrastruktur politik dan dari lingkungan
internasional.
Perubahan ini
besaran maupun isi aliran berupa input dan output. Proes mengkonversi input
menjadi output dilakukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).
Terdapat 5
kapabilitas yang menjadi penilaian prestasi sebuah sistem politik :
1. Kapabilitas
Ekstraktif, yaitu kemampuan Sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kemampuan
SDA biasanya masih bersifat potensial sampai kemudian digunakan secara maksimal
oleh pemerintah. Seperti pengelolaan minyak tanah, pertambangan yang ketika
datang para penanam modal domestik itu akan memberikan pemasukan bagi
pemerintah berupa pajak. Pajak inilah yang kemudian menghidupkan negara.
2. Kapabilitas
Distributif. SDA yang dimiliki oleh masyarakat dan negara diolah sedemikian
rupa untuk dapat didistribusikan secara merata, misalkan seperti sembako yang
diharuskan dapat merata distribusinya keseluruh masyarakat. Demikian pula
dengan pajak sebagai pemasukan negara itu harus kembali didistribusikan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
3. Kapabilitas
Regulatif (pengaturan). Dalam menyelenggaran pengawasan tingkah laku individu
dan kelompok maka dibutuhkan adanya pengaturan. Regulasi individu sering
memunculkan benturan pendapat. Seperti ketika pemerintah membutuhkan maka
kemudian regulasi diperketat, hal ini mengakibatkan keterlibatan masyarakat
terkekang.
4. Kapabilitas
simbolik, artinya kemampuan pemerintah dalam berkreasi dan secara selektif
membuat kebijakan yang akan diterima oleh rakyat. Semakin diterima kebijakan
yang dibuat pemerintah maka semakin baik kapabilitas simbolik sistem.
5. Kapabilitas
responsif, dalam proses politik terdapat hubungan antara input dan output,
output berupa kebijakan pemerintah sejauh mana dipengaruhi oleh masukan atau
adanya partisipasi masyarakat sebagai inputnya akan menjadi ukuran kapabilitas
responsif. kapabilitas dalam negeri dan internasional. Sebuah negara tidak bisa
sendirian hidup dalam dunia yang mengglobal saat ini, bahkan sekarang banyak
negara yang memiliki kapabilitas ekstraktif berupa perdagangan internasional.
Minimal dalam kapabilitas internasional ini negara kaya atau berkuasa (superpower)
memberikan hibah (grants) dan pinjaman (loan) kepada
negara-negara berkembang.
D. Perbedaan
sistem politik di berbagai Negara
1. Sistem Politik Di
Negara Komunis
Bercirikan
pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak
sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya
oposisi, serta terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan
berpendapat
2. Sistem Politik Di Negara Liberal
Bercirikan adanya
kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok; pembatasan kekuasaan;
khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan yang
bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan
hak-hak kaum minoritas
3. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia
Sistem politik
yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis.
Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik
demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Pemilihan langsung
7. Sistem pemerintahan presidensiil
BAB IV
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, dengan
memakai system demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat oleh
rakyat untuk rakyat. Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di
mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa yang meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia, setelah
tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan
rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar
di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di
bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 -
17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik. Setelah
jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah
terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan
menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Sistem politik
Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam
Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan
tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan
penyusunan skala prioritasnya.
Konstitusi Negara Indonesia adalah Undang-undang Dasar (UUD) 1945,
yang mengatur kedudukan dan tanggung jawab penyelenggara negara; kewenangan, tugas,
dan hubungan antara lembaga-lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif). UUD 1945 juga mengatur hak dan kewajiban warga negara. Lembaga
legislatif terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Lembaga Eksekutif terdiri atas Presiden, yang dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang wakil presiden dan kabinet. Di
tingkat regional, pemerintahan provinsi dipimpin oleh seorang gubernur,
sedangkan di pemerintahan kabupaten/kotamadya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota. Lembaga Yudikatif menjalankan kekuasaan kehakiman yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga kehakiman tertinggi bersama
badan-badan kehakiman lain yang berada di bawahnya. Fungsi MA adalah melakukan
pengadilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat, dan fungsi adminsitrasi.
Saat ini UUD 1945 telah mengalami beberapa kali amandemen, yang telah memasuki
tahap amandemen keempat. Amandemen konstitusi ini mengakibatkan perubahan
mendasar terhadap tugas dan hubungan lembaga-lembaga negara.
No comments:
Post a Comment